Pada zaman orde baru, kebebasan pers begitu dikekang oleh pemerintahan yang otoriter. Media yang seharusnya bisa menjadi tempat untuk menyuarakan pendapat rakyat dan menjadi alat kontrol pemerintahan justru dikendalikan oleh pemerintahan. Media menjadi corong kebijakan pemerintah Orde Baru yang otoriter.
Ketika terjadi transisi pemerintahan dari era Orde Baru ke era Reformasi, industri media massa juga mengalami imbasnya. Era reformasi adalah era kebebasan pers. Pada masa ini terjadi penguatan peran media massa terhadap kehidupan sosial masyarakat. Media tidak lagi dikendalikan oleh pemerintahan. Media memiliki kebebasan untuk merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi. Hal itu dinilai positif bagi perkembangan media massa.
Hingga saat ini industri media massa terus mengalami perkembangan, begitu pula terhadap industri majalah. Kita dapat melihat beragam majalah baru yang muncul di Indonesia. Bahkan majalah-majalah saat ini sudah sangat segmented, terbagi-bagi dalam kategori yang kecil. Mulai dari majalah bisnis, ekonomi, sastra, wanita, pria, remaja, hobi, olahraga, agama, musik, film, komputer dan kini juga mulai bermunculan majalah-majalah komunitas yang dikelola oleh industri yang ukurannya lebih kecil. Beragamnya jumlah majalah yang ada di pasar ini merupakan salah satu akibat dari pencabutan SIUPP(Suran Ijin Usaha Penerbitan Pers) pada tahun 1998. Sejak SIUPP dicabut, usaha penerbitan majalah maupun surat kabar menjamur di Indonesia. Jumlahnya menjadi tidak terkendali walaupun pada akhirnya tidak semua dari jumlah itu dapat bertahan lama dalam persaingan industri media.
Perkembangan industri majalah tidak berhenti sampai disitu saja. Di era globalisasi ini, pasar global membukakan banyak jalan untuk industri global berskala besar masuk ke Indonesia. Hal ini didukung dengan adanya yang PP RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba yang selanjutnya diperbaharui dengan PP RI No. 42 Tahun 1997 yang mengatur hukum waralaba di Indonesia. Selain itu jumlah pasar di Indonesia cukup besar dan potensial untuk menumbuhkan bisnis media baru. Hal-hal tersebut makin menarik perhatian berbagai pihak asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia. Begitu juga yang sebaliknya terjadi, pemilik modal dalam negeri pun mencari media-media asing untuk diterbitkan di Indonesia. Bukan hanya majalah asing saja yang ramai dipasar Indonesia saat ini, namun juga majalah asing yang bergaya lokal atau biasa kita sebut majalah franchise asing.
Media mulai diberlakukan seperti barang dagangan lainnya, pengusaha hanya mau menerbitkan sesuatu yang laku dijual tanpa memedulikan fungsi sosial media itu sendiri. Apalagi dengan mendompleng nama merk yang sudah terkenal dalam skala internasional, mereka tak perlu repot-repot berpromosi sana-sini untuk membuat majalahnya dikenal banyak orang. Dilihat dari aspek tersebut, pantas saja jika banyak pengusaha yang mengincar majalah asing untuk dibuat franchisenya di Indonesia. Sebut saja Cosmopolitan, Men’s Health, Playboy, FHM, Spice, Bazaar, Good Housekeeping, National Geographic, Seventeen, Cosmogirl, Trax, Rolling Stone, Golf Diggest dan masih banyak lagi. Majalah-majalah seperti itu bisa kita temukan dimana saja, di tukang koran pinggir jalan sekalipun.
Menurut wikipedia.org, waralaba atau franchise adalah hak untuk menjual suatu produk dalam bentuk barang maupun jasa. Sedangkan pengertian waralaba menurut versi pemerintah Indonesia adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk menggunakan atau memanfaatkan hak kekayaan intelektual.
Franchise atau yang lebih kita kenal dengan nama waralaba mulai menjadi tren bisnis di Indonesia sejak krisis moneter terjadi hal tersebut sesuai dengan fakta yang diungkapkan dalam situs waralaba, yakni www.mitrawaralaba.com.
“Yang menarik adalah kesuksesan waralaba untuk tetap tumbuh selama krisis moneter di Indonesia. Pada periode 1996 - 1999, usaha waralaba di Indonesia mampu tumbuh sebesar 12,5 %, di tengah pertumbuhan ekonomi nasional dibawah 3 %”
Selain itu, peluang sukses perusahaan waralaba lebih besar dibandingkan dengan format bisnis biasa. Hal inilah yang menjadi tolak ukur sejumlah pengusaha untuk menerapkan sistem distribusi waralaba. Walaupun pada awalnya sistem ini dikembangkan dari bisnis makanan atau restoran, dengan melihat peluang yang cukup baik ini pengusaha media berlomba-lomba menerbitkan majalah asing untuk dapat diterbitkan secara lokal di Indonesia.
Majalah franchise asing tentu saja berbeda dengan majalah lokal yang telah ada sebelumnya di Indonesia. Mereka menggunakan nama majalah, isi atau konten majalah, gambar-gambar, redaksional umum bahkan mengangkat issue-issue yang berkembang di negara asalnya. Unsur nilai dan budaya yang terkandung pada majalah-majalah franchise asing tersebut tentulah berbeda dengan unsur nilai dan budaya yang kita miliki.
Walaupun harganya cukup mahal, majalah-majalah franchise ini begitu diminati oleh masyarakat, tak kalah dengan keberadaan majalah lokal. Bahkan mungkin peminat majalah franchise ini lebih banyak dibandingkan dengan majalah lokal yang sebelumnya telah ada dikarenakan faktor gaya hidup masa kini masyarakat. Bagi masyarakat informasi saat ini, pilihan bacaan kini juga dapat menunjukkan gengsi atau prestige, sehingga mereka tidak sembarangan memilih majalah sebagai sumber informasi untuk mereka konsumsi. Khususnya untuk kalangan menengah ke atas yang selalu berusaha untuk mengikuti perubahan tren dan gaya hidup masa kini.
Majalah-majalah franchise ini memiliki konten atau isi yang cenderung berbeda dengan budaya yang kita miliki karena tentu saja majalah asing tersebut membawa unsur budaya atau nilai-nilai yang berasal dari negara asalnya. Sebut saja, Cosmopolitan, majalah khusus wanita yang berasal dari negara Amerika ini memuat banyak konten ‘dewasa’ yang dalam nilai budaya ketimuran masih tabu untuk dieksploitasi secara terang-terangan. Atau majalah Bazaar, yang menampilkan barang-barang yang biasa dipakai oleh golongan socialite di negara-negara Barat sana. Majalah Playboy, yang banyak menampilkan gambar-gambar wanita memakai pakaian minim hingga akhirnya agen distribusi majalah ini memilih untuk tidak menerbitkannya lagi karena protes keras dari masyarakat. Hal ini tentu saja bertentangan dengan norma dan budaya yang kita miliki. Boleh jadi majalah-majalah tersebut menjadi sumber inspirasi atau membuka wawasan kita tentang bagaimana kehidupan di negara-negara barat tersebut, namun sebagian besar masayarakat Indonesia belum paham bagaimana memilah atau membuat filter yang sesuai dengan budaya kita sendiri.
Seperti yang kita lihat saat ini dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di kota-kota besar, menjamurnya kalangan socialite yang bisa dikatakan hedon. Mereka pergi ke pub, atau sekedar arisan atau ‘nongkrong’ di tempat-tempat seperti Starbuck, Excelso, dan lain sebagainya, menghambur-hamburkan uang mereka hanya untuk dianggap eksis. Hal-hal tersebut mereka tiru dari apa yang majalah-majalah franchise asing itu sampaikan. Sama halnya dengan restoran cepat saji yang menjamur di kalangan masyarakat karena berasal dari luar negeri. Dan segala sesuatu yang berasal dari luar negeri dianggap ‘keren’ oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena pengaruh-pengaruh media franchise asing itu. Padahal, restoran fastfood seperti McDonald di Amerika adalah makanan untuk kalangan menengah ke bawah namun di Indonesia sendiri justru sebaliknya. McDonald justru dijadikan tempat makan bagi remaja-remaja yang ingin dikatakan keren. Perilaku seksual menyimpang, seks bebas atau ‘kumpul kebo’, merupakan hal-hal yang bertentangan dengan norma budaya Indonesia namun hal-hal tersebut dapat banyak kita jumpai dalam masyarakat kita karena mereka bercermin pada budaya barat yang dibawa oleh media-media ‘asing’ tersebut. Inilah hal-hal yang menjadi dampak negatif adanya globalisasi media apabila masyarakatnya sendiri belum siap menerima perubahan. Masyarakat belum mampu memilih nilai-nilai mana dari budaya barat yang perlu mereka kembangkan dan mana yang perlu mereka tinggalkan karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan norma yang berlaku.
Gadis, Cosmogirl, dan Gogirl
Saya sendiri adalah penikmat majalah remaja pada masa saya SMA bahkan terkadang masih hingga kuliah. Semasa SMA saya berlangganan majalah Gadis yang merupakan 100% majalah asli Indonesia. Majalah tersebut banyak mengangkat tema serta issue yang banyak terjadi di antara remaja Indonesia, mereka juga masih mengangkat kearifan budaya lokal Indonesia dan terkadang sesekali majalah ini menampilkan tren atau issue yang juga berkembang di dunia.
Berbeda dengan majalah Cosmogirl yang juga pernah saya baca. Majalah franchise yang berasal dari Amerika ini mempersepsikan konsep kecantikan yang berasal dari negara asalnya. Bahwa cantik itu tinggi, langsing, berkulit putih, hidung mancung layaknya ‘bule’ serta memakai pakaian-pakaian bermerk yang berasal dari negara Barat. Hal ini tentu saja berbeda dengan karakteristik tubuh masyarakat Indonesia. Hal ini yang membuat remaja-remaja perempuan saat ini berlomba-lomba membuat dirinya tampak lebih putih tanpa memedulikan bahwa wanita Indonesia memiliki gen kulit sawo matang. Mungkin bukan hanya di Cosmogirl saja citra atau konsep kecantikan yang serupa ditampilkan. Majalah-majalah seperti Comopolitan, Seventeen, Spice bisa jadi membuat konsep kecantikan yang serupa. Perubahan atau pergeseran konsep itu kadang diselipi oleh promosi-promosi produk yang tak jarang berasal dari negara mereka juga yang pada akhirnya mengajak masayarakat kita menjadi masyarakat yang memiliki tingkat konsumerisme yang tinggi.
Selain dua majalah tersebut, ada majalah remaja baru di Indonesia yakni Gogirl. Majalah ini merupakan majalah asli buatan Indonesia. Namun yang terdapat di dalamnya tidak jauh berbeda dengan apa yang kita temukan di majalah-majalah franchise asing. Isinya adalah tentang budaya westernisasi walaupun sebagian masih bertemakan budaya kita namun jumlahnya sangat kecil. Bahkan orang-orang tidak akan sadar bahwa majalah Gogirl ini adalah majalah asli Indonesia bukan majalah franchise asing. Inilah yang patut kita hindari, bahwa media lokal juga ternyata mulai memberikan influence budaya asing terhadap diri kita. Dari cover majalahnya saja mereka biasa menggunakan selebritis asing, begitu juga model-model yang ada di dalam majalah ini. Hal ini nampaknya terjadi karena masyarakat kita memang sudah terbuai oleh budaya asing. Masyarakat kita menganggap yang berasal dari luar negeri adalah segala sesuatu yang memiliki nilai lebih dibandingkan yang berasal dari Indonesia. Media yang memiliki banyak peran sosial dalam masyarakat telah dijadikan komoditas industri.
Apabila media lokal saja mengajak kita untuk meniru budaya barat, bagaimana tidak masyarakat akan lebih ikut terdorong untuk mengikuti budaya barat yang bahkan terkadang bertentangan dengan budaya kita. Hendaknya, para pengusaha media melihat hal ini sebagai sesuatu hal yang buruk bagi nasib bangsa Indonesia selanjutnya. Jika hal tersebut terus menerus terjadi, kita akan kehilangan jati diri bangsa Indonesia. Hendaknya mereka mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia agar masyarakat sadar bahwa kita perlu menjunjung tinggi adat budaya kita.
Pergeseran nilai, itulah yang dibawa oleh majalah-majalah franchise asing tersebut. Bahkan bukan saja hanya dari majalah melainkan juga media-media lainnya yang berasal dari luar. Pergeseran nilai memang tidak selalu buruk terkadang ada juga yang positif. Sebagai warga dunia kita memang harus terbuka terhadap segala macam bentuk inovasi agar kita juga dapat berkembang sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Tetapi hendaknya kita belajar untuk menjadi lebih kritis terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar budaya kita agar kita dapat dengan mudah memilah mana yang baik atau mana yang buruk yang tidak sesuai dengan norma budaya kita. Kita harus banyak bertanya pada orang-orang yang memiliki kompetensi khusus di bidangnya agar kita bisa memastikan bahwa inovasi tersebut sesuai bagi norma budaya Indonesia dan memberikan dampak yang baik untuk kita semua. Terhadap segala sesuatu yang ditawarkan oleh media-media franchise itu hendaknya kita tidak boleh skeptis. Kita harus tahu apa manfaat dan kegunaannya sehingga kita tidak menyalahgunakan inovasi yang ada. Ambil sesuatu yang bermanfaat dari inovasi tersebut dan buang jauh-jauh hal-hal yang hanya membawa dampak buruk.
Selain itu kita juga harus menanamkan pada diri kita sejak dini bahwa kita harus mencintai adat budaya yang telah diturunkan oleh nenek moyang kita terhadap kita. Kita juga harus menyadari bahwa adat budaya yang kita anut lebih banyak memeberikan dampak positif sehingga pada akhirnya saat kita diterpa budaya asing dari luar melalui media apapun kita tidak mudah terbawa arus budaya asing yang membawa dampak negatif.
Hal yang perlu digarisbawahi bagi generasi muda bangsa kita adalah menjadi pintar untuk bisa memilih mana yang dan mana yang tidak. Baik dalam bersosialisasi dengan lingkungan sosial kita maupun dalam mengadopsi segala sesuatu hal yang baru. Karena sebagai orang Indonesia yang menganut budaya timur kita harus dapat menjunjung tinggi norma dan adat ketimuran kita.
Daftar Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar