Kamis, 25 Maret 2010

PENGARUH MAJALAH FRANCHISE ASING DI INDONESIA


Pada zaman orde baru, kebebasan pers begitu dikekang oleh pemerintahan yang otoriter. Media yang seharusnya bisa menjadi tempat untuk menyuarakan pendapat rakyat dan menjadi alat kontrol pemerintahan justru dikendalikan oleh pemerintahan. Media menjadi corong kebijakan pemerintah Orde Baru yang otoriter.
Ketika terjadi transisi pemerintahan dari era Orde Baru ke era Reformasi, industri media massa juga mengalami imbasnya. Era reformasi adalah era kebebasan pers. Pada masa ini terjadi penguatan peran media massa terhadap kehidupan sosial masyarakat. Media tidak lagi dikendalikan oleh pemerintahan. Media memiliki kebebasan untuk merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi. Hal itu dinilai positif bagi perkembangan media massa.
Hingga saat ini industri media massa terus mengalami perkembangan, begitu pula terhadap industri majalah. Kita dapat melihat beragam majalah baru yang muncul di Indonesia. Bahkan majalah-majalah saat ini sudah sangat segmented, terbagi-bagi dalam kategori yang kecil. Mulai dari majalah bisnis, ekonomi, sastra, wanita, pria, remaja, hobi, olahraga, agama, musik, film, komputer  dan kini juga mulai bermunculan majalah-majalah komunitas yang dikelola oleh industri yang ukurannya lebih kecil. Beragamnya jumlah majalah yang ada di pasar ini merupakan salah satu akibat dari pencabutan SIUPP(Suran Ijin Usaha Penerbitan Pers) pada tahun 1998. Sejak SIUPP dicabut, usaha penerbitan majalah maupun surat kabar menjamur di Indonesia. Jumlahnya menjadi tidak terkendali walaupun pada akhirnya tidak semua dari jumlah itu dapat bertahan lama dalam persaingan industri media.
Perkembangan industri majalah tidak berhenti sampai disitu saja. Di era globalisasi ini, pasar global membukakan banyak jalan untuk industri global berskala besar masuk ke Indonesia. Hal ini didukung dengan adanya yang PP RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba yang selanjutnya diperbaharui dengan PP RI No. 42 Tahun 1997 yang mengatur hukum waralaba di Indonesia. Selain itu jumlah pasar di Indonesia cukup besar dan potensial untuk menumbuhkan bisnis media baru. Hal-hal tersebut makin menarik perhatian berbagai pihak asing yang ingin menanamkan modal di Indonesia. Begitu juga yang sebaliknya terjadi, pemilik modal dalam negeri pun mencari media-media asing untuk diterbitkan di Indonesia. Bukan hanya majalah asing saja yang ramai dipasar Indonesia saat ini, namun juga majalah asing yang bergaya lokal atau biasa kita sebut majalah franchise asing.
Media mulai diberlakukan seperti barang dagangan lainnya, pengusaha hanya mau menerbitkan sesuatu yang laku dijual tanpa memedulikan fungsi sosial media itu sendiri. Apalagi dengan mendompleng nama merk yang sudah terkenal dalam skala internasional, mereka tak perlu repot-repot berpromosi sana-sini untuk membuat majalahnya dikenal banyak orang. Dilihat dari aspek tersebut, pantas saja jika banyak pengusaha yang mengincar majalah asing untuk dibuat franchisenya di Indonesia. Sebut saja Cosmopolitan, Men’s Health, Playboy, FHM, Spice, Bazaar, Good Housekeeping, National Geographic, Seventeen, Cosmogirl, Trax, Rolling Stone, Golf Diggest dan masih banyak lagi. Majalah-majalah seperti itu bisa kita temukan dimana saja, di tukang koran pinggir jalan sekalipun.
Menurut wikipedia.org, waralaba atau franchise adalah hak untuk menjual suatu produk dalam bentuk barang maupun jasa. Sedangkan pengertian waralaba menurut versi pemerintah Indonesia adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk menggunakan atau memanfaatkan hak kekayaan intelektual.
Franchise atau yang lebih kita kenal dengan nama waralaba mulai menjadi tren bisnis di Indonesia sejak krisis moneter terjadi hal tersebut sesuai dengan fakta yang diungkapkan dalam situs waralaba, yakni www.mitrawaralaba.com.
“Yang menarik adalah kesuksesan waralaba untuk tetap tumbuh selama krisis moneter di Indonesia. Pada periode 1996 - 1999, usaha waralaba di Indonesia mampu tumbuh sebesar 12,5 %, di tengah pertumbuhan ekonomi nasional dibawah 3 %”
Selain itu, peluang sukses perusahaan waralaba lebih besar dibandingkan dengan format bisnis biasa. Hal inilah yang menjadi tolak ukur sejumlah pengusaha untuk menerapkan sistem distribusi waralaba. Walaupun pada awalnya sistem ini dikembangkan dari bisnis makanan atau restoran, dengan melihat peluang yang cukup baik ini pengusaha media berlomba-lomba menerbitkan majalah asing untuk dapat diterbitkan secara lokal di Indonesia.
Majalah franchise asing tentu saja berbeda dengan majalah lokal yang telah ada sebelumnya di Indonesia. Mereka menggunakan nama majalah, isi atau konten majalah, gambar-gambar, redaksional umum bahkan mengangkat issue-issue yang berkembang di negara asalnya. Unsur nilai dan budaya yang terkandung pada majalah-majalah franchise asing tersebut tentulah berbeda dengan unsur nilai dan budaya yang kita miliki.
Walaupun harganya cukup mahal, majalah-majalah franchise ini begitu diminati oleh masyarakat, tak kalah dengan keberadaan majalah lokal. Bahkan mungkin peminat majalah franchise ini lebih banyak dibandingkan dengan majalah lokal yang sebelumnya telah ada dikarenakan faktor gaya hidup masa kini masyarakat. Bagi masyarakat informasi saat ini, pilihan bacaan kini juga dapat menunjukkan gengsi atau prestige, sehingga mereka tidak sembarangan memilih majalah sebagai sumber informasi untuk mereka konsumsi. Khususnya untuk kalangan menengah ke atas yang selalu berusaha untuk mengikuti perubahan tren dan gaya hidup masa kini. 
Majalah-majalah franchise ini memiliki konten atau isi yang cenderung berbeda dengan budaya yang kita miliki karena tentu saja majalah asing tersebut membawa unsur budaya atau nilai-nilai yang berasal dari negara asalnya. Sebut saja, Cosmopolitan, majalah khusus wanita yang berasal dari negara Amerika ini memuat banyak konten ‘dewasa’ yang dalam nilai budaya ketimuran masih tabu untuk dieksploitasi secara terang-terangan. Atau majalah Bazaar, yang menampilkan barang-barang yang biasa dipakai oleh golongan socialite di negara-negara Barat sana. Majalah Playboy, yang banyak menampilkan gambar-gambar wanita memakai pakaian minim hingga akhirnya agen distribusi majalah ini memilih untuk tidak menerbitkannya lagi karena protes keras dari masyarakat. Hal ini tentu saja bertentangan dengan norma dan budaya yang kita miliki. Boleh jadi majalah-majalah tersebut menjadi sumber inspirasi atau membuka wawasan kita tentang bagaimana kehidupan di negara-negara barat tersebut, namun sebagian besar masayarakat Indonesia belum paham bagaimana memilah atau membuat filter yang sesuai dengan budaya kita sendiri.
Seperti yang kita lihat saat ini dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di kota-kota besar, menjamurnya kalangan socialite yang bisa dikatakan hedon. Mereka pergi ke pub, atau sekedar arisan atau ‘nongkrong’ di tempat-tempat seperti Starbuck, Excelso, dan lain sebagainya, menghambur-hamburkan uang mereka hanya untuk dianggap eksis. Hal-hal tersebut mereka tiru dari apa yang majalah-majalah franchise asing itu sampaikan. Sama halnya dengan restoran cepat saji yang menjamur di kalangan masyarakat karena berasal dari luar negeri. Dan segala sesuatu yang berasal dari luar negeri dianggap ‘keren’ oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena pengaruh-pengaruh media franchise asing itu. Padahal, restoran fastfood seperti McDonald di Amerika adalah makanan untuk kalangan menengah ke bawah namun di Indonesia sendiri justru sebaliknya. McDonald justru dijadikan tempat makan bagi remaja-remaja yang ingin dikatakan keren. Perilaku seksual menyimpang, seks bebas atau ‘kumpul kebo’, merupakan hal-hal yang bertentangan dengan norma budaya Indonesia namun hal-hal tersebut dapat banyak kita jumpai dalam masyarakat kita karena mereka bercermin pada budaya barat yang dibawa oleh media-media ‘asing’ tersebut. Inilah hal-hal yang menjadi dampak negatif adanya globalisasi media apabila masyarakatnya sendiri belum siap menerima perubahan. Masyarakat belum mampu memilih nilai-nilai mana dari budaya barat yang perlu mereka kembangkan dan mana yang perlu mereka tinggalkan karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan norma yang berlaku.
Gadis, Cosmogirl, dan Gogirl
Saya sendiri adalah penikmat majalah remaja pada masa saya SMA bahkan terkadang masih hingga kuliah. Semasa SMA saya berlangganan majalah Gadis yang merupakan 100% majalah asli Indonesia. Majalah tersebut banyak mengangkat tema serta issue yang banyak terjadi di antara remaja Indonesia, mereka juga masih mengangkat kearifan budaya lokal Indonesia dan terkadang sesekali majalah ini menampilkan tren atau issue yang juga berkembang di dunia.
Berbeda dengan majalah Cosmogirl yang juga pernah saya baca. Majalah franchise yang berasal dari Amerika ini mempersepsikan konsep kecantikan yang berasal dari negara asalnya. Bahwa cantik itu tinggi, langsing, berkulit putih, hidung mancung layaknya ‘bule’ serta memakai pakaian-pakaian bermerk yang berasal dari negara Barat. Hal ini tentu saja berbeda dengan karakteristik tubuh masyarakat Indonesia. Hal ini yang membuat remaja-remaja perempuan saat ini berlomba-lomba membuat dirinya tampak lebih putih tanpa memedulikan bahwa wanita Indonesia memiliki gen kulit sawo matang. Mungkin bukan hanya di Cosmogirl saja citra atau konsep kecantikan yang serupa ditampilkan. Majalah-majalah seperti Comopolitan, Seventeen, Spice bisa jadi membuat konsep kecantikan yang serupa. Perubahan atau pergeseran konsep itu kadang diselipi oleh promosi-promosi produk yang tak jarang berasal dari negara mereka juga yang pada akhirnya mengajak masayarakat kita menjadi masyarakat yang memiliki tingkat konsumerisme yang tinggi.
Selain dua majalah tersebut, ada majalah remaja baru di Indonesia yakni Gogirl. Majalah ini merupakan majalah asli buatan Indonesia. Namun yang terdapat di dalamnya tidak jauh berbeda dengan apa yang kita temukan di majalah-majalah franchise asing. Isinya adalah tentang budaya westernisasi walaupun sebagian masih bertemakan budaya kita namun jumlahnya sangat kecil. Bahkan orang-orang tidak akan sadar bahwa majalah Gogirl ini adalah majalah asli Indonesia bukan majalah franchise asing. Inilah yang patut kita hindari, bahwa media lokal juga ternyata mulai memberikan influence budaya asing terhadap diri kita. Dari cover majalahnya saja mereka biasa menggunakan selebritis asing, begitu juga model-model yang ada di dalam majalah ini. Hal ini nampaknya terjadi karena masyarakat kita memang sudah terbuai oleh budaya asing. Masyarakat kita menganggap yang berasal dari luar negeri adalah segala sesuatu yang memiliki nilai lebih dibandingkan yang berasal dari Indonesia. Media yang memiliki banyak peran sosial dalam masyarakat telah dijadikan komoditas industri.
Apabila media lokal saja mengajak kita untuk meniru budaya barat, bagaimana tidak masyarakat akan lebih ikut terdorong untuk mengikuti budaya barat yang bahkan terkadang bertentangan dengan budaya kita. Hendaknya, para pengusaha media melihat hal ini sebagai sesuatu hal yang buruk bagi nasib bangsa Indonesia selanjutnya. Jika hal tersebut terus menerus terjadi, kita akan kehilangan jati diri bangsa Indonesia. Hendaknya mereka mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia agar masyarakat sadar bahwa kita perlu menjunjung tinggi adat budaya kita.
Pergeseran nilai, itulah yang dibawa oleh majalah-majalah franchise asing tersebut. Bahkan bukan saja hanya dari majalah melainkan juga media-media lainnya yang berasal dari luar. Pergeseran nilai memang tidak selalu buruk terkadang ada juga yang positif. Sebagai warga dunia kita memang harus terbuka terhadap segala macam bentuk inovasi agar kita juga dapat berkembang sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Tetapi hendaknya kita belajar untuk menjadi lebih kritis terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar budaya kita agar kita dapat dengan mudah memilah mana yang baik atau mana yang buruk yang tidak sesuai dengan norma budaya kita. Kita harus banyak bertanya pada orang-orang yang memiliki kompetensi khusus di bidangnya agar kita bisa memastikan bahwa inovasi tersebut sesuai bagi norma budaya Indonesia dan memberikan dampak yang baik untuk kita semua. Terhadap segala sesuatu yang ditawarkan oleh media-media franchise itu hendaknya kita tidak boleh skeptis. Kita harus tahu apa manfaat dan kegunaannya sehingga kita tidak menyalahgunakan inovasi yang ada. Ambil sesuatu yang bermanfaat dari inovasi tersebut dan buang jauh-jauh hal-hal yang hanya membawa dampak buruk.
Selain itu kita juga harus menanamkan pada diri kita sejak dini bahwa kita harus mencintai adat budaya yang telah diturunkan oleh nenek moyang kita terhadap kita. Kita juga harus menyadari bahwa adat budaya yang kita anut lebih banyak memeberikan dampak positif sehingga pada akhirnya saat kita diterpa budaya asing dari luar melalui media apapun kita tidak mudah terbawa arus budaya asing yang membawa dampak negatif.
Hal yang perlu digarisbawahi bagi generasi muda bangsa kita adalah menjadi pintar untuk bisa memilih mana yang dan mana yang tidak. Baik dalam bersosialisasi dengan lingkungan sosial kita maupun dalam mengadopsi segala sesuatu hal yang baru. Karena sebagai orang Indonesia yang menganut budaya timur kita harus dapat menjunjung tinggi norma dan adat ketimuran kita.


Daftar Pustaka

DIFFUSION OF INNOVATIONS THEORY


Disusun oleh:
Rizti Khairinnisa
(210110070186)

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
JURUSAN MANAJEMEN KOMUNIKASI
Universitas Padjadjaran
2009


Latar Belakang Teori

Sejarah Penemu Teori

Everett M. Rogers (6 Maret 1931 – 21 Oktober  2004)
Bernama lengkap Everett M. Rogers, pria ini dilahirkan di Carroll, Iowa pada tanggal 6 Maret 1931. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga pemilik Pinehurst Farm. Awalnya Rogers tidak memiliki ide untuk mengambil kuliah hingga gurunya mengarahkannya beserta beberapa teman-teman sekelasnya untuk mengambil Agriculture untuk  S1 dan S2-nya di Iowa State University. Selanjutnya ia sempat menjadi suka relawan di perang Korea selama 2 tahun. Sepulangnya dari perang itu Rogers kembali lagi ke Iowa State University untuk mendapatkan gelar PhD di bidang sosiologi dan statistik pada tahun 1957.

Sejarah teori        :

Pada tahun 1950-an, Iowa State University menghasilkan banyak lulusan besar di bidang pertanian dan khususnya masalah sosiologi pedesaan. Banyak sekali inovasi pertanian yang dihasilkan seperti benih jagung hybrid, pupuk kimiawi, dan semprotan untuk rumput liar. Namun tidak semua petani mengadopsi beberapa inovasi tersebut, hanya ada beberapa petani saja yang mengadopsinya setelah inovasi tersebut berhasil dilakukan oleh beberapa petani barulah inovasi tersebut menyebar secara perlahan-lahan. Hal inilah yang menjadi pertanyaan besar bagi Rogers hingga akhirnya menjadi inti dari disertasi Rogers di Iowa State University. Disertasinya berupa penyebaran atau difusi weed spray, ia juga melakukan wawancara langsung terhadap 200 petani tentang keputusannya untuk keputusan mereka mengadopsi inovasi tersebut. Selain itu Rogers juga memelajari bagaimana difusi inovasi dari bidang-bidang lain, misalnya pada bidang pendidikan, marketing, dan obat-obatan. Ia menemukan banyak kesamaan dalam beberapa bidang tersebut. Hasilnya merujuk kepada S-shaped Diffusion Curve yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog Prancis bernama Gabriel Tarde pada awal abad ke-20.
Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu.
Rogers (1983) mengatakan, “Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.

Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovation yang kini menjadi buku legendaris, Rogers menjelaskan hasil risetnya tentang difusi atau penyebaran inovasi dalam suatu sistem sosial dan pengaplikasiannya di berbagai bidang. Hal ini yang membantu beberapa negara di daerah Asia, Africa, dan Amerika Latin untuk menyebarkan inovasi dalam bidang pertanian, family planning, dan beberapa perubahan sosial lainnya. Hingga mereka menjadi negara yang mandiri.


Esensi Teori 


Di dalam buku Diffusion of Innovation, Everett M. Rogers mendefinisikan difusi inovasi adalah
proses sosial yang mengomunikasikan informasi tentang ide baru yang dipandang secara subjektif. Makna inovasi dengan demikian perlahan-lahan dikembangkan melalui sebuah proses konstruksi sosial.”
inovasi yang dipandang oleh penerima sebagai inovasi yang mempunyai manfaat relatif, kesesuaian, kemampuan untuk dicoba, kemampuan dapat dilihat yang jauh lebih besar, dan tingkat kerumitan yang lebih rendahakan lebih cepat diadopsi daripada inovasi-inovasi lainnya.
Difusi merupakan suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Komunikasi didefinisikan sebagai proses dimana para pelakunya menciptakan informasi dan saling bertukar informasi untuk mencapai pengertian bersama. Di dalam pesan itu terdapat ketermasaan (newness) yang memberikan ciri khusus kepada difusi yang menyangkut ketakpastian (uncertainty).
Asumsi utama yang dapat disimpulkan dari teori ini adalah:
1.    Difusi inovasi adalah proses sosial yang mengomunikasikan informasi tentang ide baru yang dipandang secara subjektif. Makna inovasi dengan demikian perlahan-lahan dikembangkan melalui sebuah proses konstruksi sosial
2.    Inovasi yang dipandang oleh penerima sebagai inovasi yang mempunyai manfaat relatif, kesesuaian, kemampuan untuk dicoba, kemampuan dapat dilihat yang jauh lebih besar, dan tingkat kerumitan yang lebih rendah akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi-inovasi lainnya
3.    Ada sedikitnya 5 tahapan dalam difusi inovasi yakni, tahap pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi
4.    Ada 5 tipe masyarakat dalam mengadopsi inovasi yakni inovator, early adopter, early majority, late majority, dan laggard.

Unsur-unsur Difusi Inovasi     :

Dari definisi yang diberikan oleh Everett M. Rogers tersebut, ada empat unsur utama yang terjadi dalam proses difusi inovasi sebagai berikut:

1.    Inovasi

Inovasi merupakan sebuah ide, praktek, atau objek yang dianggap sebagai suatu yang baru oleh seorang individu atau satu unit adopsi lain. Semua inovasi memiliki komponen ide tetapi tak banyak yang memiliki wujud fisik, ideologi misalnya. Inovasi yang tidak memliliki wujud fisik diadopsi berupa keputusan simbolis. Sedangkan yang memiliki wujud fisik pengadopsiannya diikuti dengan keputusan tindakan. Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi yang dapat memengaruhi keputusan terhadap pengadopsian suatu inovasi meliputi:
a.    Keunggulan relatif (relative advantage)
Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik atau unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi eknomi, prestise sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.
Contoh      : Dalam pembelian handphone, pengguna handphone akan mencari handphone  yang lebih baik dari yang ia gunakan sebelumnya. Misalnya dari penggunaan Nokia N97 berganti ke Blackberry
b.    Kompatibilitas (compatibility)
Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).
Contoh      : Dalam suku Badui dalam terdapat aturan untuk tidak menggunakan teknologi dari luar, sehingga bentuk inovasi seperti alat-elektronik tidak mereka adopsi karena tidak sesuai dengan norma sosial yang mereka miliki
c.    Kerumitan (complexity)
Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.
Contoh      : Masyarakat pengguna PC atau notebook  terbiasa dengan penggunaan Windows yang lebih mudah dibandingkan Linux, walaupun Linux memiliki kelebihan dibandingkan Windows tetapi karena penggunaannya lebih rumit masih sedikit orang yang menggunakan Linux
d.    Kemampuan diujicobakan (trialability)
Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan (mendemonstrasikan) keunggulannya.
Contoh        : Produk Molto Ultra Sekali Bilas cepat diterima masyarakat karena secara langsung dapat dibandingkan dengan produk-produk sejenis lainnya.
e.    Kemampuan diamati (observability)
Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.

2.    Saluran komunikasi

Tujuan komunikasi adalah tercapainya suatu pemahaman bersama atau yang biasa disebut mutual understanding antara dua atau lebih partisipan komunikasi terhadap suatu pesan (dalam hal ini adalah ide baru) melalui saluran komunikasi tertentu. Dengan demikian diadopsinya suatu ide baru (inovasi) dipengaruhi oleh partisipan komunikasi dan saluran komunikasi. Saluran komunikasi dapatr dikatakan memegang peranan penting dalam proses penyebaran inovasi, karena melalui itulah inovasi dapat tersebar kepada anggota sistem sosial.
Dalam tahap-tahap tertentu dari proses pengambilan keputusan inovasi, suatu jenis saluran komunikasi tertentu juga memainkan peranan lebih penting dibandingkan dengan jenis saluran komunikasi lain. Ada dua jenis kategori saluran komunikasi yang digunakan dalam proses difusi inovasi, yakni saluran media massa dan saluran antarpribadi atau saluran lokal dan kosmopolit. Saluran lokal adalah saluran yang berasal dari sistem sosial yang sedang diselidiki. Saluran kosmopolit adalah saluran komunikasi yang berada di luar sistem sosial yang sedang diselidiki. Media massa dapat berupa radio, televisi, surat kabar, dan lain-lain. Kelebihan media massa adalah dapat menjangkau audiens yang banyak dengan cepat dari satu sumber. Sedangkan saluran antarpribadi dalam proses difusi inovasi ini melibatkan upaya pertukaran informasi tatap muka antara dua atau lebih individu yang biasanya memiliki kekerabatan dekat.
Hasil penelitian berkaitan dengan saluran komunikasi menunjukan beberapa prinsip sebagai berikut:
a.    Saluran komunikasi masa relatif lebih penting pada tahap pengetahuan dan saluran antar pribadi (interpersonal) relatif lebih penting pada tahap persuasi. Hal ini disebabkan saluran komunikasi massa dapat membentuk awareness secara serempak dalam waktu yang dikatakan cukup singkat dibandingkan dengen efek komunikasi antarpribadi.
b.    Saluran kosmopolit lebih penting pada tahap pengetahuan dan saluran lokal relatif lebih penting pada tahap persuasi.
c.    Saluran media masa relatif lebih penting dibandingkan dengan saluran antar pribadi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir (late adopter). Sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, golongan adopter awal menyukai ide-ide baru tanpa perlu persuasi yang berlebihan sehingga media massa saja sudah cukup membuat mereka mau mengadopsi sebuah inovasi berbeda dengan orang-orang dari golongan adopter akhir, karakteristik mereka yang kurang menyukai risiko menyebabkan komunikasi antarpribadi yang paling bekerja dengan baik. Mereka cenderung melihat atau berkaca pada orang-orang disekitar mereka yang sudah menggunakan inovasi tersebut dan apabila berhasil mereka baru mau mengikutinya.
d.    Saluran kosmopolit relatif lebih penting dibandingkan denan saluran lokal bagi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir (late adopter).
Metode komunikasi massa seperti penggunaan iklan memang dapat menyebarkan informasi tentang inovasi baru dengan cepat tetapi hal tersebut tidak lantas dapat begitu saja membuat inovasi baru tersebut diadopsi oleh khalayak. Hal itu dikarenakan diadopsi tidaknya inovasi baru  terkait dengan masalah resiko dan ketidakpastian. Disinilah letak pentingnya komunikasi antarpribadi. Orang akan lebih percaya kepada orang yang sudah dikenalnya dan dipercayai lebih awal atau orang yang mungkin sudah berhasil mengadopsi inovasi baru itu sendiri, dan juga orang yang memiliki kredibilitas untuk memberi saran mengenai inovasi tersebut. Hal tersebut digambarkan oleh ilustrasi kurva dibawah ini yang menggambarkan bahwa komunikasi interpersonal menjadi begitu sangat berpengaruh dari waktu ke waktu dibandingkan dengan komunikasi massa.

Dari hasil penelitian, banyak disebutkan bahwa saluran komunikasi  media massa akan optimal digunakan pada tahap pengetahuan dan saluran interpersonal akan lebih optimal digunakan pada tahap persuasi. Namun pada kenyataannya, di negara yang belum maju kekuatan komunikasi interpersonal masih dinilai lebih penting dalam tahap pengetahuan. Hal ini disebabkan karena kurangnya media massa yang dapat dijangkau masyarakat terutama di pedesaan, tingginya tingkat buta huruf penduduk, dan mungkin pula disebabkan ketidakrelevanan antara isi media dengan kebutuhan masyarakat, misalnya terlalu banyak hiburan atau hal-hal yang sebenarnya tidak penting untuk diberitakan. Karena hal-hal tersebut, saluran komunikasi interpersonal terutama yang bersifat kosmopolit dinilai lebih baik dibanding saluran media massa.
Untuk mendapatkan hasil penyebaran inovasi yang optimal, yakni memperbesar tingkat adopsi suatu inovasi dapat dilakukan dengan pengaplikasian saluran komunikasi yang tepat pada situasi yang tepat. Pertama, pada tahap pengetahuan hendaknya kita menggunakan media massa untuk menyebarluaskan informasi tentang adanya inovasi tersebut. Selanjutnya digunakan saluran komunikasi interpersonal yang bersifat persuasif dan personal pada tahap persuasi.

3.    Kurun waktu tertentu

Waktu merupakan salah satu unsur penting dalam proses difusi. Dimensi waktu, dalam proses difusi, berpengaruh dalam tiga hal, yakni:
a.    Proses keputusan inovasi, yaitu proses mental yang terjadi dimana individu mulai mengalami  tahapan menerima informasi pertama yang membentuk sikap seseorang terhadap inovasi sampai kepada keputusan apakah individu tersebut menerima atau menolak inovasi, hingga tahapan implementasi dan konfirmasi berkenaan dengan inovasi tersebut.
Ada beberapa tahap dalam proses keputusan inovasi ini, yakni:
·         Tahap pengetahuan pertama terhadap inovasi
·         Tahap pembentukan sikap kepada inovasi
·         Tahap pengambilan keputusan menerima atau menolak inovasi
·         Tahap pelaksanaan inovasi
·         Tahap konfirmasi dari keputusan
b.    Waktu memengaruhi difusi dalam keinovatifan individu atau unit adopsi. Keinovatifan adalah tingkatan dimana individu dikategorikan secara relative dalam mengadopsi sebuah ide baru dibanding anggota suatu sistem sosial lainnya. Kategori tersebut antara lain adalah innovator, early adopter, early majority, late majority, dan laggard. Klasifikasi ini dikarenakan dalam sebuah sistem, individu tidak akan secara serempak dalam suatu waktu mengadopsi sebuah inovasi melainkan perlahan-lahan secara berurut. Keinovatifan inilah yang pada akhirnya menjadi indikasi yang menunjukkan perubahan tingkah laku individu
c.    Kecepatan rata-rata adopsi ide baru dalam sebuah sistem sangat dipengaruhi oleh dimensi waktu. Kecepatan adopsi adalah kecepatan relative yang berkenaan dengan pengadopsian suatu inovasi oleh anggota suatu sistem mengadopsi suatu inovasi dalam periode waktu tertentu. Kecepatan ini selalu diukur dengan jumlah anggota suatu sistem yang mengadopsi inovasi dalam periode waktu tertentu.

4.    Sistem Sosial

Sangat penting untuk diingat bahwa proses difusi terjadi dalam suatu sistem sosial. Sistem sosial adalah satu set unit yang saling berhubungan yang tergabung dalam suatu upaya pemecahan masalah bersama untuk mencapai suatu tujuan. Anggota dari suatu sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem. Proses difusi dalam kaitannya dengan sistem sosial ini dipengaruhi oleh struktur sosial, norma sosial, peran pemimpin dan agen perubahan, tipe keputusan inovasi dan konsekuensi inovasi.
Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial. Dalam suatu sistem sosial terdapat struktur sosial, individu atau kelompok individu, dan norma-norma tertentu. Berkaitan dengan hal ini, Rogers (1983) menyebutkan adanya empat faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi. Keempat faktor tersebut adalah:
1)    Struktur sosial (social structure)
Struktur sosial adalah susunan suatu unit sistem yang memiliki pola tertentu. Adanya sebuah struktur dalam suatu sistem sosial memberikan suatu keteraturan dan stabilitas perilaku setiap individu dalam suatu sistem sosial tertentu. Struktur sosial juga menunjukan hubungan antar anggota dari sistem sosial. Hal ini dapat dicontohkan seperti terlihat pada struktur oranisasi suatu perusahaan atau struktur sosial masyarakat suku tertentu. Struktur sosial dapat memfasilitasi atau menghambat difusi inovasi dalam suatu sistem. Katz (1961) seperti dikutip oleh Rogers menyatakan bahwa sangatlah bodoh mendifusikan suatu inovasi tanpa mengetahui struktur sosial dari adopter potensialnya, sama halnya dengan meneliti sirkulasi darah tanpa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang struktur pembuluh nadi dan arteri. Penelitian yang dilakukan oleh Rogers dan Kincaid (1981) di Korea menunjukan bahwa adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik individu itu sendiri dan juga sistem sosial dimana individu tersebut berada.
2)    Norma sistem (system norms)
Norma adalah suatu pola perilaku yang dapat diterima oleh semua anggota sistem sosial yang berfungsi sebagai panduan atau standar bagi semua anggota sistem sosial. Sistem norma juga dapat menjadi faktor penghambat untuk menerima suatu ide baru. Hal ini sangat berhubungan dengan derajat kesesuaian (compatibility) inovasi denan nilai atau kepercayaan masyarakat dalam suatu sistem sosial. Jadi, derajat ketidak sesuaian suatu inovasi dengan kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh individu (sekelompok masyarakat) dalam suatu sistem social berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi tersebut.
3)    Opinion Leaders
Opinion leaders dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yakni orang-orang tertentu yang mampu memengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem sosial. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model dimana perilakunya (baik mendukung atau menentang) diikuti oleh para pengikutnya. Jadi, jelas disini bahwa orang berpengaruh memainkan peran dalam proses keputusan inovasi.
4)    Change Agent
Change agent adalah suatua bagian dari sistem sosial yang berpengaruh terhadap sistem sosialnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu memengaruhi sikap orang lain untuk menerima sebuah inovasi. Tetapi change agent  bersifat resmi atau formal, ia mendapat tugas dari kliennya untuk memengaruhi masyarakat yang berada dalam sistem sosialnya. Change agent atau dalam bahasia Indonesia yang biasa disebut agen perubah, biasanya merupakan orang-orang profesional yang telah mendapatkan pendidikan atau pelatihan tertentu untuk dapat memengaruhi sistem sosialnya. Di dalam buku ”Memasyarakatkan Ide-ide Baru” yang ditulis oleh Rogers dan Shoemaker, fungsi utama dari change agent  adalah menjadi mata rantai yang menghubungkan dua sistem sosial atau lebih. Dengan demikian, kemampuan dan keterampilan change agent berperan besar terhadap diterima atau ditolaknya inovasi tertentu. Sebagai contoh, lemahnya pengetahuan tentang karakteristik struktur sosial, norma dan orang kunci dalam suatu sistem sosial (misal: suatu institusi pendidikan), memungkinkan ditolaknya suatu inovasi walaupun secara ilmiah inovasi tersebut terbukti lebih unggul dibandingkan dengan apa yang sedang berjalan saat itu.
Ralph Linton (1963) dalam buku ”Memasyarakatkan Ide-ide Baru” melihat bahwa setiap inovasi mempunyai tiga unsur pokok yang harus diketahui oleh change agent, yakni:
·         Bentuk yang dapat diamati langsung dalam penampilan fisik suatu inovasi
·         Fungsi inovasi tersebut bagi cara hidup anggota sistem
·         Makna, yakni perspektif subyektif dan seringkali tak disadari tentang inovasi tersebut oleh anggota sistem sosial. Karena sifatnya subyektif, unsur makna ini lebih sulit didifusikan daripada bentuk maupun fungsinya. Terkadang kultur penerima cenderung menggabungkan makna inovasi itu dengan makna subyektif, sehingga makna aslinya hilang.
5)    Heterofili dan Homofili
Difusi diidentifikasi sebagai jenis komunikasi khusus yang berhubungan dengan penyebaran inovasi. Pada teori Two-Step Flow, opinion leader dan pengikutnya memiliki banyak kesamaan. Hal tersebut yang dipandang dalam riset  difusi sebagai homofili. Yakni, tingkat di mana pasangan individu yang berinteraksi memiliki banyak kemiripan sosial, contohnya keyakinan, pendidikan, nilai-nilai, status sosial dan lain sebagainya. Lain halnya dengan heterofili, heterofili adalah tingkat di mana pasangan individu yang berinteraksi memiliki banyak perbedaan. Persamaan dan perbedaan ini akan berpengaruh terhadap proses difusi yang terjadi. Semakin besar derajat kesamaannya maka semakin efektif komunikasi yang terjadi untuk mendifusikan inovasi dan sebaliknya. Makin tinggi derajat perbedaannya semakin banyak kemungkinan masalah yag terjadi dan menyebabkan suatu komunikasi tidak efektif. Oleh karenanya, dalam proses difusi inovasi, penting sekali untuk memahami betul karakteristik adopter potensialnya untuk memperkecil “heterophily”.

Proses Difusi Inovasi

Berikut adalah bagan model proses difusi inovasi menurut Everett M. Rogers



1.   
Tahap Pengetahuan (Knowledge)
Ada beberapa sumber yang menyebutkan tahap pengetahuan sebagai tahap “Awareness”. Tahap ini merupakan tahap penyebaran informasi tentang inovasi baru, dan saluran yang paling efektif untuk digunakan adalah saluran media massa. Dalam tahap ini kesadaran individu akan mencari atau membentuk pengertian inovasi dan tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Rogers mengatakan ada tiga macam pengetahuan yang dicari masyarakat dalam tahapan ini, yakni:
·         Kesadaran bahwa inovasi itu ada
·         Pengetahuan akan penggunaan inovasi tersebut
·         Pengetahuan yang mendasari bagaimana fungsi inovasi tersebut bekerja
2.    Tahap Persuasi (Persuasion)
Dalam tahapan ini individu membentuk sikap atau memiliki sifat yang menyetujui atau tidak menyetujui inovasi tersebut. Dalam tahap persuasi ini, individu akan mencari tahu lebih dalam informasi tentang inovasi baru tersebut dan keuntungan menggunakan informasi tersebut. Yang membuat tahapan ini berbeda dengan tahapa pengetahuan adalah pada tahap pengetahuan yang berlangsung adalah proses memengaruhi kognitif, sedangkan pada tahap persuasi, aktifitas mental yang terjadi alah memengaruhi afektif. Pada tahapan ini seorang calon adopter akan lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi. Kepribadian dan norma-norma sosial yang dimiliki calon adopter ini akan menentukan bagaimana ia mencari informasi, bentuk pesan yang bagaimana yang akan ia terima dan yang tidak, dan bagaimana cara ia menafsirkan makna pesan yang ia terima berkenaan dengan informasi tersebut. Sehingga pada tahapan ini seorang calon adopter akan membentuk persepsi umumnya tentang inovasi tersebut. Beberapa ciri-ciri inovasi yang biasanya dicari pada tahapan ini adalah karekateristik inovasi yakni relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability.
3.    Tahap Pengambilan Keputusan (Decision)
Di tahapan ini individu terlibat dalam aktivitas yang membawa pada suatu pilihan untuk mengadopsi inovasi tersebut atau tidak sama sekali. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara tindak yang paling baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses keputusan inovasi, yakni:
·         Praktik sebelumnya
·         Perasaan akan kebutuhan
·         Keinovatifan
·         Norma dalam sistem sosial
Proses keputusan inovasi memiliki beberapa tipe yakni:
a)    Otoritas adalah keputusan yang dipaksakan kepada seseorang oleh individu yang berada dalam posisi atasan
b)    Individual adalah keputusan dimana individu yang bersangkutan mengambil peranan dalam pembuatannya. Keputusan individual terbagi menjadi dua macam, yakni:
a.    Keputusan opsional adalah keputusan yang dibuat oleh seseorang, terlepas dari keputusan yang dibuat oleh anggota sistem.
b.    Keputusan kolektif adalah keputusan dibuat oleh individu melalui konsesnsus dari sebuah sistem sosial
c)    Kontingen adalah keputusan untuk menerima atau menolak inovasi setelah ada keputusan yang mendahuluinya.
Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi pada individu atau suatu sistem sosial sebagai akibat dari adopsi atau penolakan terhadap inovasi . Ada tiga macam konsekuensi setelah diambilnya sebuah keputusan, yakni:
·         Konsekuensi Dikehendaki VS Konsekuensi Tidak Dikehendaki
Konsekuensi dikehendaki dan tidak dikehendaki bergantung kepada dampak-dampak inovasi dalam sistem sosial berfungsi atau tidak berfungsi. Dalam kasus ini, sebuah inovasi bisa saja dikatakan berfungsi dalam sebuah sistem sosial tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya inovasi tersebut tidak berfungsi bagi beberapa orang di dalm sistem sosial tersebut Sebut saja revolusi industri di Inggris, akibat dari revolusi tersebut sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemilik modal tetapi tidak sesuai denganapa yang dikehendaki oleh tenaga kerja yang pada akhirnya kehilangan pekerjaaan dan menjadi pengangguran.
·         Konsekuensi Langsung VS Koneskuensi Tidak Langsung
Konsekuensi yang diterima bisa disebut konsekuensi langsung atau tidak langsung bergantung kepada apakah perubahan-perubahan pada individu atau sistem sosial terjadi dalam respons langsung terhadap inovasi atau sebagai hasil dari urutan kedua dari konsekuensi. Terkadang efek atau hasil dari inovasi tidak berupa pengaruh langsung pada pengadopsi.
·         Konsekuensi Yang Diantisipasi VS Konsekuensi Yang Tidak Diantisipasi
Tergantung kepada apakah perubahan-perubahan diketahui atau tidak oleh para anggota sistem sosial tersebut. Contohnya pada penggunaan internet sebagai media massa baru di Indonesia khususnya dikalangan remaja. Umumnya, internet digunakan untuk mendapatkan informasi yang terbaru dari segala penjuru dunia, inilah yang disebut konsekuensi yang diantisipasi. Tetapi tanpa disadari penggunaan internet bisa disalahgunakan, misalnya untuk mengakses hal-hal yang berbau pornografi hal inilah yang disebut konsekuensi yang tidak diantisipasi. Remaja menjadi mudah mendapatkan video atau gambar-gambar yang tidak pantas.
4.    Tahap Pelaksanaan (Implementation)
Tahapan ini hanya akan ada jika pada tahap sebelumnya, individu atau partisipan memilih untuk mengadopsi inovasi baru tersebut. Dalam tahap ini, individu akan menggunakan inovasi tersebut. Jika ditahapan sebelumnya proses yang terjadi lebih kepada mental exercise yakni berpikir dan memutuskan, dalam tahap pelaksanaan ini  proses yang terjadi lebih ke arah perubahan tingkah laku sebagai bentuk dari penggunaan ide baru tersebut.
5.    Tahap Konfirmasi (Confirmation)
Tahap terakhir ini adalah tahapan dimana individu akan mengevaluasi dan memutuskan untuk terus menggunakan inovasi baru tersebut atau menyudahinya. Selain itu, individu akan mencari penguatan atas keputusan yang telah ia ambil sebelumnya. Apabila, individu tersebut menghentikan penggunaan inovasi tersebut hal tersebut dikarenakan oleh hal yang disebut disenchantment discontinuance dan atau replacement discontinuance. Disenchantment discontinuance disebabkan oleh ketidakpuasan individu terhadap inovasi tersebut sedangkan replacement discontinuance disebabkan oleh adanya inovasi lain yang lebih baik.

Tipe-tipe Pengadopsi Inovasi


Pembagian anggota sistem sosial ke dalam kelompok-kelompok adopter didasarkan pada tingkat keinovatifannya, yakni lebih awal atau lebih lambatnya seseorang mengadopsi sebuah inovasi dibandingkan dengan anggota sistem sosial lainnya. Berikut adalah kurva yang menggambarkan distribusi frekwensi normal kategori adopter beserta persentase anggota kelompok adopter dalam sebuah sistem sosialnya.


Kurva yang membentuk lonceng tersebut dihasilkan oleh sejumlah penelitian tentang difusi inovasi. Kurva lonceng tersebut menggambarkan banyaknya pengadopsi dari waktu ke waktu. Pada tahun pertama, usaha penyebaran inovasi akan menghasilkan jumlah pengadopsi yang sedikit, pada tahun berikutnya jumlah pengadopsi akan lebih banyak dan setelash sampai pada puncaknya, sedikit demi sedikit jumlah pengadopsi akan menyusut. Sehingga jika kurva tersebut dikumulasikan akan membentuk kurva S sesuai dengan kurva S yang sebelumnya telah disampaikan oleh Gabriel Tarde.
Berikut adalah karakteristik dari berbagai macam kategori adopter:
  1. Inovator
Tipe ini adalah tipe yang menemukan inovasi. Mereka mencurahkan sebagian besar hidup, energi, dan kreatifitasnya untuk mengembangkan ide baru. Selain itu orang-orang yang masuk ke dalam kategori ini cenderung berminat mencari hubungan dengan orang-orang yang berada di luar sistem mereka. Rogers menyebutkan karakteristik innovator sebagai berikut:
a.    Berani mengambil risiko
b.    Mampu mengatur keuangan yang kokoh agar dapat menahan kemungkinan kerugian dari inovasi yang tidak menguntungkan
c.    Memahami dan mampu mengaplikasikan teknik dan pengetahuan yang kompleks
d.    Mampu menanggulangi ketidakpastian informasi
Berikut adalah cara agar dapat bekerja dengan inovator:
a.    Mengundang innovator yang rajin untuk menjadi partner dalam merancang poyek
b.    Merekrut dan melatih mereka sebagai pendidik
2.    Penerima Dini
Penerima dini atau Early adopter biasanya adalah orang-orang yang berpengaruh dan lebih dulu memiliki banyak akses karena mereka memiliki orientasi yang lebih ke dalam sistem sosial. Untuk memengaruhi penerima dini tidak memerlukan persuasi karena mereka sendiri yang selalu berusaha mencari sesuatu yang dapat memberikan mereka keuntungan dalam kehidupan sosial atau ekonomi. Karakteristik yang dimiliki oleh early adopter adalah:
a.    Bagian yang terintegrasi dalam sistem lokal sosial
b.    Opinion leader yang paling berpengaruh
c.    Role model dari anggota lain dalam sebuah sistem sosial
d.    Dihargai dan disegani oleh orang-orang disekitarnya
e.    Sukses
Untuk dapat bekerja dengan penerima dini berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan:
a.    Menawarkan secara pribadi dukungan untuk beberapa early adopter untuk mencoba inovasi baru
b.    Memelajari percobaan inovasi tersebut secara hati-hati untuk menemukan atau membuat ide baru yang lebih sesuai, murah dan mudah dipasarkan
c.    Meninggikan ego mereka, misalnya dengan publisitas atau pemberitaan media
d.    Mempromosikan mereka sebagai trendsetter
e.    Menjaga hubungan baik dengan melakukan feedback secara rutin
3.    Mayoritas Dini (orang–orang yang lebih dahulu selangkah lebih maju)
Early majority ini adalah golongan orang yang selangkah lebih maju. Mereka biasanya orang yang pragmatis, nyaman dengan ide yang maju, tetapi mereka tidak akan bertindak tanpa pembuktian yang nyata tentang keuntungan yang mereka dapatkan dari sebuah produk baru. Mereka adalah orang-orang yang sensitive terhadap pengorbanan dan membenci risiko untuk itu mereka mencari sesuatu yang sederhana, terjamin, cara yang lebih baik atas apa yang telah mereka lakukan.
a.    Ada beberapa karakteristik mayoritas dini, yakni:
b.    Sering berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya
c.    Jarang mendapatkan posisi sebagai opinion leader
d.    Sepertiganya adalah bagian dari sistem (kategori atau tipe terbesar dalam sistem)
e.    Berhati-hati sebelum mengadopsi inovasi baru
Untuk menarik simpati golongan ini dapat dilakukan engan beberapa cara sebagai berikut:
a.    Menawarkan kompetisi atau sampel secara gratis untuk stimulus
b.    Menggunakan advertiser dan media yang memiliki kredibilitas, dipercaya, dan yang akrab dengan golongan ini
c.    Menurunkan biaya dan memberikan jaminan
d.    Mendesain ulang untuk memaksimalkan penggunaan dan membuatnya menjadi lebih simple
e.    Menyederhanakan formulir aplikasi dan atau instruksi
f.     Menyediakan customer service and support yang profesional
  1. Mayoritas Belakangan
Orang-orang dari golongan ini adalah orang-orang yang konservatif pragmatis yang sangat membenci risiko serta tidak nyaman dengan ide baru sehingga mereka belakangan mendapatkan inovasi setelah mereka mendapatkan contoh. Golongan ini lebih dipengaruhi oleh ketakutan dan golongan laggard.
Rogers mengidentifikasi karakteristik golongan late majority sebagai berikut:
a.    Berjumlah sepertiga dari suatu sistem sosial
b.    Mendapatkan tekanan daro orang-orang sekitarnya
c.    Terdesak ekonomi
d.    Skeptis
e.    Sangat berhati-hati
5.    Laggard (lapisan paling akhir)
Golongan Laggard adalah golongan akhir yang memandang inovasi atau sebuah perubahan tingkah laku sebagai sesuatu yang memiliki risiko tinggi. Ada indikasi bahwa sebagian dari golongan ini bukanlah orang-orang yang benar-benar skeptis, bisa jadi mereka adalah inovator, penerima dini, atau bahkan mayoritas dini yang terkurung dalam suatu sistem sosial kecil yang masih sangat terikat dengan adat atau norma setempat yang kuat. Atau munngkin karena terbatasnya sumber dan saluran komunikasi menyebabkan seseorang terlambat mengetahui adanya sebuah inovasi dan pada akhirnya golongan ini disebut sebagai Laggard.
Ada beberapa karakteristik Laggard, yakni:
a.    Tidak terpengaruh opinion leader
b.    Terisolasi
c.    Berorientasi terhadap masa lalu
d.    Curiga terhadap inovasi
e.    Mempunyai masa pengambilan keputusan yang lama
f.     Sumber yang terbatas
Untuk melakukan pendekatan dengan Laggards ada beberapa cara yang perlu diperhatikan, yakni:
a.    Memberikan mereka perhatian yang lebih terhadap kapan, dimana, dana bagaimana mereka melakukan kebiasaan baru
b.    Memaksimalkan kedekatan mereka dengan inovasi tersebut atau berikan mereka contoh Laggard yang sukses melakukan pengadopsian inovasi tersebut
Namun ada beberapa peniliti yang menunjukan bentuk tabel distribusi yang berbeda. Moore menunjukkan adanya gap antara early adopter dengan early majority. Gap atau jarak ini menyebabkan perbedaan karektiristik yang begitu jauh antara dua golongan tersebut, yakni di fase awal karakteristiknya berorientasi pada hal-hal yang baru atau visioner sedangkan pada fase berikutnya setelah gap mereka cenderung pragmatis tentu saja hal ini akan menjadi sebuah tantangan besar, bagaimana cara memersuasi mereka untuk mengadopsi sebuah inovasi.



Aplikasi


Pada awalnya riset tentang difusi inovasi menggunakan bidang pertanian sebagai sampel. Yakni pada riset difusi jagung inti hibrida di Iowa. Tetapi kemudian penerapan teori difusi inovasi ini berkembang ke berbagai macam bidang antara lain pendekatan pembangunan, terutama pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya. Petani dan anggota masyarakat pedesaan adalah salah satu dari sasaran dari upaya difusi inovasi. Usaha-usaha mengaplikasikan difusi inovasi pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1920-an dan 1930-an, sekarang hal itu dicontoh oleh negara-negara berkembang lainnya.
Salah satu contoh penerapan teori difusi inovasi adalah penggunaan alat kontrasepsi. Pada awalnya masyarakat melakukan family planning dengan coitus interuptus atau bahkan mereka sama sekali tidak melakukan family planning. Lalu pemerintah mulai mengenalkan alat kontrasepsi dengan menggencarkan iklan layanan masyarakat pada berbagai macam media. Hal tersebut menimbulkan awareness masyarakat terhadap adanya berbagai macam alat kontrasepsi untuk melakukan family planning, mereka menjadi tahu bahwa alat-alat kontrasepsi dapat menekan angka kelahiran. Beberapa masyarakat yang modernist mencoba menggunakannya. Dokter dan bidan juga mulai memperkenalkan alat kontrasepsi terhadap pasiennya, peran mereka disini ada yang sebagai opinion leader ada pula yang dianggap sebaga change agent. Dari situ masyarakat satu per satu mulai menggunakan alat kontrasepsi untuk menekan angka kelahiran. Jadi adanya alat kontrasepsi sebagai inovasi disebarkan melalui media massa(bentuk dari komunikasi masa) dalam bentuk iklan selanjutnya change agent dan opinion leader sebagai bentuk dari komunikasi antarpribadi yang persuasif dilakukan oleh dokter, bidan atau keluarga yang telah menggunakan alat kontrasepsi  lalu pada akhirnya alat kontrasepsi itu dipakai oleh masyarakat kebanyakan. Dalam hal ini tidak semua menggunakan alat kontrasepsi masih ada banyak orang yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi karena umumnya mereka masih terikat adat dan norma yang tidak mengizinkan adanya penekanan angka kelahiran..    



Kritik-kritik

Ada beberapa kritik yang dilontarkan oleh ahli-ahli komunikasi dan ahli-ahli sosiologi lainnya terhadap teori, antara lain:
1.    Teori ini menyimpulkan terlalu sederhana sebagai representasi realitas yang kompleks. Adopter dapat dikategorikan ke dalam kategori yang berbeda untuk inovasi yang berbeda. Laggard dapat menjadi early adopter di lain kesempatan.
2.    Teori ini tidak prediktif karena tidak menyediakan pengetahuan tentang seberapa baik sebuah ide baru atau produk baru bekerja sebelum melewati kurva adopsi
3.    Individu cenderung mengadopsi teknologi sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing, sehingga inovasi dapat dengan mudah berubah dalam penggunaannya saat berpindah dari early adopter menuju early majority. Teori ini sama sekali tidak menyebutkan mutasi yang sering terjadi seperti hal tersebut.
4.    Pengaruh dari beberapa teknologi dapat secara radikal mengubah pola difusi untuk menyusun teknologi dengan memulai persaingan atau kompetisi dalam kurva S. Teori ini tidak menyediakan petunjuk bagaimana mengatur sebuah perpindahan.
5.    Adanya overadopsi
Overadopsi adalah pengadopsian suatu inovasi oleh seseorang padahal menurut ahli seharusnya ia menolak inovasi tersebut. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan seseorang tersebut tentang inovasi tersebut. Misalnya penggunaan antibiotik secara berlebihan, atau pada bidang pertanian penggunaan insektisida yang berlebihan. Padahal penggunaan insektisida atau antibiotic secara berlebihan dapat menimbulkan resistensi. Kadangkala, inovasi yang baik tidak seharusnya diadopsi oleh orang-orang yang tidak dapat menggunakannya secara bijak karena kurangnya pengetahuan mereka.
6.    Eksploitasi terhadap golongan sosial yang lemah
Menurut beberapa ahli, dengan adanya inovasi tidak semua perubahan sosial yang terjadi adalah pertubahan kearah yang lebih baik. Bentuk pengaplikasian teori ini terhadap komunikasi pembangunan misalnya. Dari kasus pembangunan di negara-negara maju, golongan miskin tidak dapat memerbaiki kualitas hidupnya sedangkan golongan kaya semakin kaya, hal ini justru memerbesar gap yang ada.

Selain itu dalam pengaplikasiannya terhadap bidang pertanian ada beberapa kritik mengenai teori difusi inovasi sebagai berikut:
1.     A Pro-Innovation Bias
Maksud dari pro-innovation bias disini adalah adanya prasangka berlebihan terhadap inovasi(pro-innovation). Dalam teori ini semua inovasi dianggap baik tetapi pada kenyataanya tidak selalu seperti itu. Ada kemungkinan konsekuensi negatif sebagai akibat dari inovasi tersebut.
2.     Bias in Favor of Larger and Wealthier Farmers
Ada bias terhadap petani yang lebih kaya dan besar. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang sangat mau untuk menerima ide baru sehingga semua informasi diarahkan terhadap mereka. Sedangkan yang membutuhkan bantuan diabaikan. Sama dengan pengaplikasian inovasi di bidang lain selain pertanian. Iklan sebuah inovasi biasanya lebih digembar-gemborkan di kalangan masyarakat yang termasuk innovator, early adopter, dan early majority sedangkan yang tergolong sebagai late majority dan laggard tidak mendapatkan perhatian khusus.
3.     Individual-Blame Bias
Dalam teori ini mereka yang tidak mengadopsi teknologi langsung dicap sebagai “Laggard” dan disalahkan karena kurangnya respon mereka terhadap inovasi. Beberapa kritik mengatakan bahwa perusahaan, agensi pengembangan, dan badan riset seharusnya merespon kebutuhan semua petani. Begitu pula saat penerapan di bidang lainnya, seharusnya golongan yang mendapat perhatian lebih dalam penyebaran inovasi adalah golongan yang termasuk kategori late majority dan laggard.  Karena bisa saja mereka terlambat mengadopsi atau tidak mengadopsi inovasi karena kurangnya informasi mengenai inovasi tersebut.
4.     Issue of equality.
Dari teori ini lahir beberapa issue. Akankah inovasi menyebabkan pengangguran atau migrasi warga desa? Akankah yang kaya menjadi lebih kaya dan yang miskin menjadi lebih miskin? Apakah dampak buruk dari inovasi sudah dipertimbangkan?


Daftar Pustaka


Severin, Werner Joseph dan  James W. Tankard, Jr. Communication Theories: Origins, Methods, Uses. Edisi 3. New York: Longman, 1991.
Rogers, Everret M. Dan F. Floyd Shoemaker. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional,1981.
Ardianto, Elvinaro & Erdinaya, Lukiati Komala. Komunikasi massa : Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
Bungin, Burhan. Sosiologi komunikasi. Jakarta : Kencana, 2007.
Dan beberapa e-book yang disertakan dalam folder lampiran)
en.wikipedia.org/wiki/Everett_Rogers
http://www.valuebasedmanagement.net/methods_rogers_innovation_adoption_curve.html
a.parsons.edu/~limam240/thesis/documents/Diffusion_of_Innovations.pdf
http://www.stsc.hill.af.mil/crosstalk/1999/11/paulk.asp
http://www.soc.iastate.edu/sapp/Soc415Diffusion2.html