Kamis, 15 April 2010

Analisis Iklan Axe versi Hillary Clinton

Hmm,, several weeks ago,, di kelas studi media,, saat pembahasan Althusser, Bu Eni dan Pak Kunto sempet ngebahas sedikit tentang Semiotik.
Temen-temen saya mungkin udah nyoba analisis iklan pake semiotik, berhubung saya kurang paham,, saya menundanya hingga suatu ketika Rizka minjem buku semiotik saya buat ngerjain tugas MPK 2-nya dan dia janji ngajarin saya balik setelah tugasnya selesai. And today he taught me a little bit about semiotic,, pake iklan BMW vs Jaguar sama tugasnya tentang iklan Lea Clothing versi April Fool's Day .
dan tadi saat saya searching Axe print Ad, saya menemukan gambar ini :

Well, karena saya baru belajar,, kalo ada salah mohon dimaklumi ya,,
okay kita inspect satu per satu dulu ya elemen yang ada di dalam gambar iklan di atas:
Hillary Clinton
Pin Obama 2008
bendera Amerika
teks "Imagine the power of AXE."
teks "The AXE Effect"
Botol Axe 

Seperti yang diajarin Rizka dari yang dia dapetin dikelas MPK 2,, mata orang waktu ngeliat gambar itu bergerak dari pojok kiri atas ke pojok kanan atas terus ke ke pojok kiri bawah dan terakhir ke pojok kanan bawah. 
Peletakan tulisan "The AXE Effect" dan botol Axe di pojok kanan atas sesuai dengan arah fokus mata kita, agar kita tahu itu iklan Axe. Dan menunjukan bahwa apa yang akan kita lihat selanjutnya adalah pengaruh dari penggunaan Axe.
Bendera Amerika yang menjadi background iklan ini merepresentasikan negara Amerika yang saat itu akan menghadapi pemilu raya.
Selanjutnya, ikon yang ditampilin di iklan ini adalah Hillary Clinton yang pada tahun 2008 menjadi saingan Barack Obama dalam memperebutkan kursi calon presiden dari partai Demokrat namun ironisnya kita lihat Hillary Clinton memakai pin yang menunjukan dukungannya terhadap Obama.
Posisi Hillary Clinton di kiri sambil tersenyum memandang ke arah kanan, seperti yang kita ketahui bahwa kiri dikonotasikan menjadi suatu hal yang tidak bagus, dalam iklan ini maknanya adalah Hillary kalah namun ia tetap tersenyum ke arah kanan. Walaupun telah dikalahkan Hillary tetap tersenyum dan menerima kekalahan itu dengan wajah ceria karena adanya "Axe effect"
Dan di pojok kanan bawah terdapat teks "Imagine the power of Axe", hal ini menegaskan bahwa pria manapun yang menggunakan Axe akan mendapat perhatian dari para wanita. 
Even, dalam persaingan yang begitu besar untuk memperebutkan kursi presiden Amerika,, 'diceritakan' dalam iklan Axe ini Hillary pun 'bertekuk lutut' dan ikut mendukung Obama.

hmm,, mungkin untuk ukuran semiotik ini masih terlalu sederhana,, But, i'm still learning everybody,,

Rabu, 14 April 2010

Cultural Studies

Well, minggu ini setelah UTS saya belajar tentang Cultural Studies dalam kelas Studi Media,,

Cultural studies berawal dari pemikir-pemikir di Inggris yang concern terhadap budaya pop. Kajian cultural studies berfokus pada pesan aktual atau wacana komunikasi. Menurut Rahma Sugihartati(2010) fokus cultural studies adalah representasi atau bagaimana dunia dikonstruksi dan direpresentasi secara sosial oleh dan kepada kita. 

 Tokoh-tokoh Cultural Studies  antara lain Raymond Williams dan Stuart Hall.

Raymond Williams memadukan antara ajara Althusser tentang ideologi, Gramsci tentang hegemoni, etnografi, Marxis, dengan kritik sastra menjadi cultural studies. Sedangkan Stuart Hall mengangkat evaluasi terhadap budaya masa yang disebut-sebut dalam Mazhab Frankfurt.

Berbeda dengan teori-teori kritis sebelumnya, Cultural studies menentang konsep bahwa teks  media sebagai pembawa makna yang transparan. Cultural Studies menganggap audiens aktif dalam memaknai pesan yang dimunculkan oleh teks media sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki.

Selain itu, lahirnya popular culture menurut Cultural Studies adalah bentuk resistensi pada apa yang disebut dengan high culture yang hanya bisa dinikmati oleh kaum borjuis bukan semata akibat dari pengaruh media massa.

Cultural Studies pada masanya dahulu digunakan untuk mengkritisi atau melihat budaya kelas pekerja. 

Saya baru memiliki 2 buku tentang cultural studies, even blom semua kebaca, yaitu Membaca, Gaya Hidup, dan Kapitalisme dan The Face of Fashion, Cultural Studies in Fashion.

TRIVIA : 
lagu No Woman, No Cry yang dipopulerkan Bob Marley selama ini dijadika theme song orang patah hati atau orang-orang jomblo. Padahal lagu ini memiliki makna yang jauh berbeda dengan makna yang kita pakai sehari-hari, yaitu "ga ada cewe tetep happy". Nyatanya lagu ini mengisahkan tentang demonstrasi yang terjadi di Jamaika yang menyebabkan banyak korban. Para wanita menangisi kekasihnya yang meninggal karena tragedi itu, dan lewat lagu No Woman No Cry ini, Bob Marley ingin menghibur para wanita yang menangisi kepergian kekasih mereka.
No woman no cry dalam bahasa Inggris Jamaika memiliki arti " Don't woman, Don't Cry"

Minggu, 04 April 2010

Resume Perspektif Umum: Habermas dan Masyarakat yang Komunikatif

Senin kemarin, kita dikasih tugas untuk menghabiskan 1 buku tentang teori kritis yang berjudul "MENUJU MASYARAKAT KOMUNIKATIF" yang ditulis oleh F. Budi Hardiman,, hmm,, butuh waktu untuk mencerna buku ini, ya,, i'm not that smart,, mengingat minggu depan UTS Studi Media sampe bahasan Jürgen Habermas gue bikin resume buku ini,, ya walaupun masi belom masuk ke bab 1 at least gue udah usaha,, seengga'nya gue jadi paham tentang alur dan apa aja cakupan bahasan buku ini,, and here it is my resume,,

Perspektif Umum : Habermas dan Masyarakat yang Komunikatif


Paradigma kesadaran filsafat atau yang biasa disebut ‘rasio yang berpusat pada subjek’ merupakan segala pemikiran yang menempatkan masyarakat dan alam sebagai objek. Hal tersebut disebut menyembunyikan kekuasaan. Paradigma ini menganggap bahwa berpikir adalah segala kecenderungan objektivisme dan positivisme yang diterapkan bukan hanya dalam filsasat modern, melainkan juga dalam ilmu-ilmu sosiak kemanusiaan yang diturunkannya.
Pemikir postmodern, aliran kontemporer yang menganggap proyek modernitas menuju masyarakat yang rasional sebagai perwujudan kekuasaan dalam bentuk sistem ekonomi dan birokratis. Sehingga aliran ini mengkritik rasionalisme Barat yang mendasari praktek-praktek totalitarianisme modern. Habermas tidak menolak kritik aliran ini tetapi ia tetap tidak meninggalkan modernitas dan proyek-proyek sejarahnya. Menurutnya, cacat modernisasi dalam totalitarianisme adalah hilangnya makna merupakan akibat dari pemiskinan rasionalisme Barat pada paradigma filsafat tersebut. Menurut Habermas, cacat itu bisa dihilangkan dengan tetap melanjutkan modernitas dalam wawasan rasio komunikatif.
Bila dikategorisasikan, ada lima aliran dalam filsafat dewasa ini yang memiliki pengaruh besar terhadap ilmu sosial, yakni: neo-Positivisme, Fenomenologi, Hermeneutik, Teori Kritis(dan neo-Marxisme) dan post-strukturalisme(dan strukturalisme). Teori Kritis mengkritik tiga aliran pertama dengan menjernihkan macam-macam kesalahpahaman tentang masyarakat yang menjadi asumsi dasar ketiganya.
Menurut Habermas tugas dari Teori Tindakan Komunikatif(Teori Kritis) adalah mengambil sikap kritis terhadap masyarakat sejauh mana mereka tidak sepenuhnya memanfaatkan kemampuan belajar budaya yang tersedia bagi mereka. Ia juga harus kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang tidak mampu menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi karena pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks sebagai objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa memperhitungkan asal-usul historis bidang objek mereka.
Kedua tugas tersebut dilakukan untuk mengarahkan perkembangan politik, ilmu pengetahuan, masyarakat kebudayaan menuju ke sebuah cita-cita universal, yakni menuju masyarakat yang komunikatif.

1.     Teori Kritis Mahzab Fankfurt

Max Horkheimer adalah direktur dari Institut für Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) Frankfurt didirikan pada tahun 1923. Mahzab Frankfurt sendiri bergerak dalam jalur filsafat kritis yang sudah dirintis pada masa Hegel dan Karl Marx.
Horkheimer bukan orang pertama yang merasa tidak puas terhadap Marxisme yang ortodoks, namun di tangannya Marxisme dihadapi sungguh-sungguh sebagai filsafat kritis, yang dipadukan dengan kritisme Kant, Hegel serta menggunakan metode psikoanalisis Freud. Theodor Adorno dan Herbert Marcuse bergabung dengan program teori ini, lahirlah Mazhab Frankfurt(die Frankfurter Schule) yang melontarkan kritik terhadap masyarakat industri tahun 1960-an.
Teori Kritis menjadi inspirasi penting pergerakan mahasiswa yang dikenal dengan sebutan “The New Left Movement” karena kritik-kritik tersebut memiliki relevansi dengan praktek modernisasi di dalam masyarakat kita.
Positivisme dalam ilmu sosial adalah anggapan bahwa ilmu-ilmu sosial bebas nilai, terlepas dari praktek sosial dan moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif, dan sebagainya.  Anngapan itu menjadi kepercayaan umum bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan yang benar adalah pengetahuan ilmiah atau apa yang disebut saintisme. Kemudian saintisme dikritik karena menyembunyikan dukungan terhadap status quo masyarakat di balik kedok objektivitas.  Horkheimer mengatakan bahwa positivisme hanya sebagai ideologi. Alternatifnya, yakni teori kritis, dijelaskannya sebagai teori yang memihak praksis emansipatoris.
Emansipasi masyarakat adalah pokok keprihatinan Horkheimer yang didukung oleh Adorno. Bukannya mewujudkan cita-cita itu, ilmu pengetahuan modern justru membantu proses mekanisasi masyarakat dalam bentuk sistem ekonomi dan administrasi birokratis. Fasisme dan Stalinisme yang diacu Mazhab Frankfurt sebagai kristalisasi ideologi yang menindas. Emansipasi adalah konsep yang dapat dikembalikan dalam zaman Pencerahan. Pencarahan tidak dicurigai sebagai lahirnya positivisme yang kemudian disebut oleh Horkheimer sebagai “rasio intrumental”, oleh Adorno disebut sebagai “pemikiran identitas” dan oleh Marcuse disebut sebagai “rasionalitas teknologis”.
Dalam buku Dialektik der Aufklärung, Adorno dan Horkheimer menampilkan kritik pada rasio kritis itu sendiri.  Rasio kritis ada sejak zaman Yunani kuno merupakan proyek menyingkirkan mitos-mitos dalam terang logos(Pencerahan). Mitos mereka sebutkan sebagai isapan jempol yang tidak hanya tak masuk akal, tapi juga dalam sejarah menindas masyarakat tradisional. Manakala bertindak dalam teror tabu dan acaman takhyul, masyarakat tradisional itu ditindas oleh mitos. Perkembangan ilmu, teknologi, sistem pendidikan dan lain sebagainya cepat atau lambat akan mengusir mitos. Namun Adorno dan Horkheimer tidak berhenti sampai disini.  Praktek teknokratisme fasis dan Stalinis menunjukan bahwa ilmu dan teknologi justru menjadi mitos baru bagi masyarakat.
Dialektika pencerahan, jalinan antara mitos dan rasio, menyatakan Teori Kritis yang dilandasi oleh rasio kritis bisa menjadi mitos yang baru. Emansipasi, menjadi hal yang sangat sia-sia dalam mitos demi mitos yang tak kunjung henti.
Hal yang senada dilontarkan oleh Marcuse dalam One-Dimensional Man. Situasi masyarakat industri maju dilukiskan nya sebagai masyarakat berdimensi tunggal.  Dengan hilangnya dimensi kedua, negasi atau perlawanan terhadap sistem, masyarakat hanya mengadopsi dominasi total teknokratisme.
Dengan kritik total atas pencerahan tersebut, Mazhab Frankfurt mengalami kebuntuan. Jürgen Habermas kemudian tampil sebagai pembaharu teori Kritis dan menyuburkan kembali sebuah paradigma baru.

2.     Habermas dan Pergeseran ke Paradigma Komunikasi

Habermas memusatkan diri pada pengembangan teori komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam Teori Kritis. Teori Kritisnya yang disebut  “Teori Tindakan Komunikatif” didialogkan dengan tradisi-tradisi besar ilmu-ilmu sosial modern.
Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas dalam mengatasi kemacetan Teori Kritis sebelumnya. Pendahulunya sibuk mempermasalahkan praksis  dengan teori. Praksis menjadi konsep utama dalam tradisi filsafat kritis ini. Menurutnya praksis bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Praksis dilandasi kesadaran rasional,  rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam dengan kerja tetapi juga dalam interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-hari.
Kemacetan Teori Kritis terdahulu disebabkan oleh Marx yang menyempitkan praksis pada ‘kerja’, sehingga ‘kritik’ dipahami sebagai penaklukan kelas atas kelas. Dengan cara ini, kritik tak kurang dari rasionalitas yang menyembunyikan kekuasaan.
Habermas berpegang teguh bahwa kritik hanya bisa maju dengan landasan rasio komunikatif. Sehingga bisa dikatakan Habermas mengubah ‘paradigma kerja’  dalam Teori Kritis ke ‘paradigma komunikasi’. Pada tahun 60-an Habermas menyendirikan kritik sebagai kepentingan emansipatoris, tetapi ia tetap mengisyaratkan bahwa kritik dan ilmu-ilmu kritis termasuk praksis komunikasi.

3.     Teori Kritis dengan Paradigma Komunikasi

Habermas tidak hanya berpendapat bahwa paham kebebasan-nilai ilmu-ilmu sosial itu keliru dan berbahaya, tapi juga memperlihatkan bahwa tujuan ilmu-ilmu kritis dengan tujuan emansipatorisnya membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan(Mündigkeit). Ia juga menunjukkan bahwa otonomi kolektif ini berhubungan dengan konsensus bebas dominasi. Dan hingga tahun 80-an, dia mengandaikan konsesnsus semacam itu dapat dicapai dalam sebuah masyarakat yang reflektif(cerdas) yang berhasil melakukan komunikasi dengan mencapai ‘klain-klaim kesahihan’(validity claims). Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus. Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menyatakan ada empat macam klaim, yakni:
·         ‘klaim kebenaran’(truth) yakni kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif
·         ‘klaim ketepatan’ (rightness) yakni kesepakatan tentang norma-norma dalam dunia sosial
·         ‘klaim autensitas atau kejujuran’(sincerity) yakni kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang
·         ‘klaim komprehensibilitas’(comprehensibility) dicapai apabila kita telah mencapai kesepakatan klaim-klaim di atas
Setiap komunikasi yang efektif harus mencapai ‘kompetensi komunikatif’ tersebut.
Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan lewat kekerasan, melainkan lewat ‘argumentasi’. Habermas membedakan argumentasi menjadi diskursus/perbincangan(discourse) dan kritik. Disebut diskursus kalau mengandaikan kemungkinan untuk mencapai konsensus rasional. Meskipun dimaksudkan untuk konsensus, komunikasi juga bisa terganggu, sehingga kita tak perlu mengandaikan konsensus.  Dalam hal ini, Habermas berbicara tentang kritik. Ada dua macam kritik, yakni ‘kritik estetis’ yang mempersoalkan kesesuaiannya dengan penghayatan dunia batiniah dan ‘kritik terapeutis’, yakni menyingkapkan penipuan-diri masing-masing pihak yang berkomunikasi.

4.     Teori Perkembangan Masyarakat dengan Paradigma Komunikasi

Kalau kritik yang berhasil membawa sebuah kemajuan menuju masyarakat komunikatif, tentu ada sebuah asumsi tertentu tentang perkembangan masyarakat yang mendasari kritik. Teori Kritis disini tidak hanya kritis terhadap pendekatan-pendekatan terhadap masyarakat, melainkan juga terhadap kenyataan sosial itu sendiri.
Habermas membuat dua esai yang merupakan tanggapan kritis atas tulisan Marcuse, Technology and Science as “Ideology” dan tentang teori rasionalisasi milik Max Weber. Dari dua esai tersebut dijelaskan bagaimana modernisasi diarahkan oleh masyarakat kapitalis kepada totalitarianisme birokratis demi akumulasi modal. Habermas sejal awalnya menyatakan bahwa proyek modernitas menyingkirkan dan menindas unsur-unsur komunikatif masyarakat yang disebut sebagai “kerangka kerja institusional” dan “rasionalitas etis-praktis”.
Habermas tidak meninggalkan modernitas tetapi ia memperlihatkan bahwa modernitas kapitalis adalah bentuk modernitas yang terdistorsi sebab mereduksi komunikasi pada kerja sosial. Dampak dari reduksi tersebut adalah patologi modernitas antara lain dalam bentuk erosi makna. Habermas menawarkan “model non-selektif” yang memperlihatkan bagaimana sektor-sektor lain harus “dicerahi” untuk menuju masyarakat yang komunikatif.
Habermas mengembangkan teorinya sendiri setelah mengkritik materialisme Marx. Ia menjelaskan bahwa masyarakat pada hakikatnya komunikatif dan yang menetukan perubahan sosial bukan semata-mata perkembangan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam dimensi praktis-etis. Teknologi dan faktor objektif lainnya hanya bisa mempengaruhi masyarakat apabila mereka mengintegrasikannya dalam tindakan komunikatif yang memiliki logikanya sendiri.

5.     Kritik Habermas atas Masyarakat Dewasa Ini

Habermas beranggapan bahwa kekuasaan tidak semestinya dilegitimasikan, tetapi dirasionalisasikan. Dirasionalisasi tidak dalam paradigma kerja, tetapi dalam peradigma komunikatif. Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan politis, termasuk mengarahkan perkembangan kemajuan masyarakat.
Habermas dalam The Theory of Communicative Action memadukan dua paradigma ilmu sosial, yakni “paradigma kehidupan” dan “paradigma sistem”. Pendiriannya adalah, masyarakat jangan hanya dilihat sebagai sistem administrasi dan ekonomi, melainkan juga solidaritas budaya atau komunitas. Dalam The Crisis of the Welfare State and the Exhaustion of Utopian Energies, dia menyatakan “utopia kerja sosial” telah kehabisan tenaga dan dia berharap dengan hal tersebut masyarakat dapat berubah ke arah komunikatif.
Selain itu, Habermas juga ingin terus melanjutkan proyek sejarah modernitas dengan sebuah strategi, yakni melakukan kritik emansipatoris terus ke dalam paradigma komunikasi.

6.     Diskusi dengan Postmodernisme

Dibagian akhir dari buku ini, Habermas menemukan kritik mendasar terhadap para guru postmodernisme. Pemikir postmodern menganggap bahwa modernitas telah berakhir berbeda dengan Habermas yang menganggap modernitas adalah proyek yang belum selesai. Sejak awal, Habermas berpegang teguh pada pendiriannya bahwa modernitas kapitalis adalah modernitas yang terdistorsi dan dapat diatasi dengan pencerahan lebih lanjut dengan tindakan komunikatif. Dan menjadi tugas historis Teori Kritis untuk membuat pencerahan lebih lanjut menuju masyarakat komunikatif.